Senin, 25 Juli 2011

Fatwa Merokok

FATWA MEROKOK HARAM : KONTROVERSIAL?

Belakangan ini sorotan mata masyarakat  makin mendelik ketika ada fatwa merokok itu haram yang diputuskan Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia III Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Padang Panjang, Sumatera Barat 23-26 Januari 2009 yang baru lalu. Pasalnya merokok sebelumnya hanya dipandang sebagai kegiatan bersifat makruh namun kali ini tidak tanggung-tanggung jatuh pada fatwa haram. Intinya bahaya merokok lebih banyak mudharatnya ketimbang faedahnya.
            Siapa pun tahu bahaya merokok. Namun dalam   kenyataannya terjadi paradoks. Di tiap bungkus rokok  tercantum peringatan bahaya merokok. Pertanyaannya  mengapa masih saja banyak yang merokok? Dan dari golongan mana? Diperkirakan kebanyakan perokok berasal dari strata miskin. Penelitian Bappenas tahun 1995 menunjukkan sebanyak sembilan persen dari pendapatan strata miskin untuk rokok (Tulus Abadi, Majalah Tarbawi Edisi 104, 17 Maret 2005). Bentuk  paradoks lain tentang merokok adalah pendapatan negara dari cukai rokok yang diperkirakan  per tahunnya mencapai angka 27 triliun rupiah. Sementara itu biaya kesehatan yang perlu dikeluarkan oleh pemerintah dan masyarakat jumlahnya sebanyak tiga kali lipat dari nilai cukai rokok atau 81 triliun rupiah. Belum lagi kaitannya dengan masalah ketenagakerjaan yakni antara pentingnya kesehatan masyarakat di satu sisi dan kemungkinan terjadinya pengangguran di sisi lain.
            Sebelum fatwa MUI tersebut, Pemda DKI sejak 5 Februari 2006 lalu  sudah memberlakukan larangan merokok di ruang fasilitas umum. Seperti tercantum dalam pasal 13 Perda ini, seseorang dilarang merokok di tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, tempat ibadah, angkutan umum, tempat belajar, serta tempat kegiatan anak. Konsekuensinya, diperlukan fasilitas khusus untuk para perokok supaya tidak mengganggu orang lain. Larangan merokok secara efektif paling lambat dilaksanakan setahun kemudian. Kalau seseorang diketahui sedang merokok ditempat terlarang akan didenda maksimum 50 juta rupiah atau masuk bui selama maksimum enam bulan. Tetapi apa yang terjadi di lapangan? Hangat-hangat  “anunya” ayam. Tindakan tegas terhadap perokok yang melanggar aturan ternyata sepi-sepi saja.
Beragam reaksi pada fatwa itu bermunculan. Ada yang belum  tahu dan ada juga yang sudah. Ada yang pro dan ada yang kontra.Yang paling menentang tentunya perokok berat. Larangan itu dianggap tidak realistis. Terlebih lagi itu mengurangi kebebasan atau hak asasi manusia. Bahkan di sela-sela yang kontra ada beberapa ulama pondok pesantren yang tidak mengamini fatwa MUI tersebut. Ketika diwawancarai pun dengan mencolok begitu santainya ulama bersangkutan sambil menghisap rokok. Katanya, larangan itu tidak jelas dasar fikihnya. Selain itu ada ulama yang bilang larangan itu sangat merugikan para pekerja pabrik dan produk rokok rumahan. Pasalnya kalau mereka menganggur pasti akan timbul  kemiskinan baru. Kalau kemiskinan merajalela maka itu sama saja membiarkan mereka dekat dengan kekufuran, tambahnya. Sebaliknya  yang pro akan bilang kalau tidak dilarang itu tidak adil  katanya. Karena merokok itu tidak sehat maka yang tidak merokok terkena akibatnya dari ulah si perokok. Mengganggu hak asasi untuk hidup sehat. Jadi perokok yang mengganggu kesehatan orang lain itu memang perlu dilarang, tambahan himbauan non-perokok.
Bagaimana akibat keputusan MUI tentang fatwa haram merokok itu terhadap lapangan kerja? Seperti diketahui diperkirakan sebanyak 6,5 juta karyawan bekerja di perusahaan-perusahaan rokok. Kalau fatwa itu benar-benar efektif, bisa dibayangkan berapa banyak yang bakal nganggur. Belum lagi pada petani tembakau dan sektor-sektor turunannya seperti karyawan distributor rokok sampai pengecer rokok. Namun dalam prakteknya fenomena yang bakal terjadi belum tentu sedahsyat seperti yang dibayangkan itu. Juga belum tentu jumlah perokok akan semakin berkurang. 
Keberhasilan penerapan fatwa tersebut  sangat bergantung pada sejauhmana  efektifitas dalam penerapan suatu fatwa dari MUI. Kedudukan hukumnya tidak mengikat setiap warganegara. Selain itu menurut pengalaman, efektifitas setiap fatwa tidak selalu  menunjukkan hal yang berarti di lapangan. Lebih pada himbauan moral religius ketimbang afirmatif suatu hukum positif negara. Kalau ternyata di lapangan, efektifitas fatwa berkadar lemah maka itu akan menjadi bumerang pada MUI.Agar efektif, yang perlu dilakukan adalah sosialisasi dan berlanjut dengan internalisasi intensif. Bukan saja tentang fatwa dan atau peraturannya, tetapi juga tentang bahaya merokok. Nah sasaran pertama sebaiknya di dalam MUI, keluarga sendiri, para pejabat dan tokoh masyarakat,  tempat kerja, dan organisasi. Keteladanan ulama, orangtua, para guru dan dosen, dan pimpinan unit sangat dibutuhkan.
Kalau kita telaah dari sisi teori, ketika suatu kebijakan, katakanlah tentang X dikeluarkan maka    kebebasan tentang X yang selama ini kita miliki akan berkurang bahkan mungkin saja hilang. Pasti ada saja kerugian yang dialami kelompok  khalayak penentang X akibat adanya ‘gangguan’ berupa kebijakan mengharamkan X (diberatkan). Sementara kelompok lainnya merasa diuntungkan (diringankan). Nah, siapkah kita untuk mengalami  kebebasan yang berkurang dan bahkan tidak merokok sama sekali karena adanya suatu kebijakan? Demi kesehatan dan lingkungan sehat? Seharusnya Ya, Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar